Mereka lalu keluar kampus untuk melakukan konvoi ke Makam Pahlawan, yang lokasinya tidak jauh dari kampus ITM.
Namun baru saja keluar kampus, para mahasiswa dicegat tentara dan polisi. Bentrokan pun tidak terelakkan.
"Tiba-tiba ditembak teman saya Ronaldson Siahaan, dia jatuh bersimbah darah kena tembak di bagian dadanya 2 kali, aku cuma jarak 5 meter dari dia, aku pas lagi orasi," ujar pria yang kini menjabat sebagai Ketua Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98 itu.
Setelah Ronaldson terkapar, para tentara dan polisi di sana menembaki para mahasiswa dengan gas air mata.
"Si Ronalsdon kita bawa ke klinik ITM dan nggak bisa lagi dirawat di sana, kami naikkan mobil Corola, aku bopong ke Rumah Sakit Brimob, 3 hari kemudian dia dipindahkan ke Jakarta, kondisinya selamat, namun informasi yang saya dapat dia mengalami cacat," ujar Sahat.
Setelah Itu Sahat tidak pernah lagi bertemu dengan Ronaldson, keluarga meminta kasus tertembaknya Ronalson tidak di ekspos.
Padahal kala itu, ia telah menyerahkan sejumlah selongsong peluru ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Medan.
"Kami tidak sempat kontak keluarganya, tapi mereka tidak setuju diekspos, kami mendapatkan informasi itu dari dosen ITM, Mardani Ginting," ujar Sahat.
Selain Ronaldson banyak teman mahasiswa yang menjadi korban aparat kala itu.
"Karena sampai malam kita bentrok, yang kita pikiran kala itu, kalau nggak Soeharto yang tumbang yang kita mati," tandas Sahat
Ricuhnya demo di ITM selanjutnya memantik kampus USU, IKIP, Nomensen, STIK-P dan kampus lainnya.
Mereka mulai berani berunjuk rasa di luar kampus. Kerusuhan di mana-mana pun tidak terhindarkan. Puncaknya terjadi pada 9-10 Mei 1998, penjarahan dilakukan di berbagai tempat.
"Medan lagi panas-panasnya, bakar-bakaran, DPRD Sumut lumpuh, Aksara Plaza dijarah," katanya.