Saat kerusuhan, aktivis mahasiswa lah yang paling dicari tentara kala itu. Hidup dan mati mereka betul-betul dipertaruhkan.
"Kalau Soeharto ngak turun, kami mati, yang kita hadapi senjata laras panjang, tank, panser TNI, kami langsung mengungsi karena kampus dikepung. Kami naik taksi Delta transit di hotel yang banyak orang Acehnya. Aparat tidak berani masuk situ, karena mungkin sedang ada konflik GAM," ujarnya.
Selama masa-masa demo, Sahat dan para aktivis juga berpindah-pindah tempat. Mereka pernah juga bersembunyi di rumah kecil di Kecamatan Medan Johor.
Lokasi tempatnya milik mantan Wali Kota Medan, Bachtiar Jafar. Penjaganya merupakan seorang guru silat.
"Jadi dia yang 'magari' kami, ada ghaib-ghaib dikit lah. Intinya pada saat itu kami juga nggak begitu percaya sama kawan sendiri, kita selalu curiga aja kalau kita ditangkap kita mati, karena siapa yang berani lawan Soeharto waktu itu," ujarnya.
Meskipun begitu, Sahat bersyukur karena akhirnya rezim Soeharto runtuh. Baginya, peristiwa Mei 1998 adalah peristiwa memperjuangkan aspirasi masyarakat yang diawali krisis moneter, lalu korupsi dari keluarga Soeharto.
"Ini bukan by design, ini pengejahwantahan rasa marah masyarakat kepada keluarga Cendana yang tampak hidup mewah di tengah penderitaan rakyat. Lalu juga ada krisis moneter. Ini aspirasi masyarakat yang dibulatkan oleh gerakan mahasiswa. Ditunjuklah oleh satu tujuan, Soeharto harus turun," tegas Sahat.
Namun, walau berhasil meruntuhkan rezim Soeharto, tidak dipungkirinya, kala itu banyak mahasiswi yang menjadi korban pelecehan seksual para aparat di lapangan.
Peristiwa itu sudah dilaporkan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Medan kala itu.
"Kawan-kawan perempuan banyak yang mengalami pelecehan seksual, tapi kasus itu kalah kampanye saat itu, kampanye politik waktu itu, anti-Soeharto turunkan Soeharto pecah isunya, jadi kan nggak ada lagi perhatian kepada perempuan yang mengalami pelecehan seksual," ujarnya.
Di sisi lain pihaknya menyoroti banyaknya kasus kekerasan 1998, karena itu Sahat membentuk Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98.
Organisasi ini terdiri dari perkumpulan aktivis 1998. Sejauh ini kepengurusan tersebar di 6 wilayah di Indonesia, mulai dari Aceh, Sumut, Jambi, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, dan Jawa Barat.
Forum ini meminta pemerintah mengusut tragedi Mei 1998 hingga tuntas. Para pelaku kejahatan 1998 harus diadili.
"Bangsa ini harus jadi bangsa yang beradab, tragedi Trisakti adalah pelanggaran HAM berat, artinya itu kan harus diselesaikan ke Peradilan kan, nggak bisa seperti sekarang, mau kita rekonsiliasi? apa yang mau kita rekonsiliasi? siapa yang salah? Pertanyaan sederhana, mereka ditembak pakai senjata, pakai peluru, itu perintah siapa? ulah siapa pada waktu itu?" tandasnya.
Selain tragedi Trisakti, Sahat juga menyoroti kasus diculiknya seniman Wiji Thukul, yang lantang melawan rezim Soeharto kala itu.